Sunday, 10 May 2015

Teknologi vs Kreatifitas

Benarkah yang Dilakukan Adik-adik mu dirumah???




Di indonesia, orang berbondong-bondong mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIF). Bahkan anak di usia dini saja sudah di ajarkan untuk menggunakan sebuah komputer. Dari masa Sekolah Dasar, mereka sudah mulai belajar komputer disekolah dan ketika pulang, mereka juga tidak lepas bermain dengan hal yang berbau Teknologi komputer, seperti ipad, tablet dan lainnya. Tentu saja kebanyakan dari mereka menggunakan benda canggih itu untuk bermain. namun, apakah yang mereka lakukan itu benar?


Awalnya memang terlihat benar, karena dengan cara seperti itu seorang anak akan cepat tahu dengan teknologi. Tapi di negera besar seperti kawasan Amerika dimana perusahaan-perusahaan teknologi dunia berkantor. Disana lah hal itu menjadi salah. karena di negeri perusahan besar itu mereka memiliki pemikiran yang mendalam dari apa yang kita pikirkan sebelumnya.

Berikut ini adalah Fakta Unik dari para Bos besar pemilik perusahaan terkemuka di dunia.

Pertama, Para petinggi Google, Apple, Yahoo, HP hingga eBay mengirim anak-anaknya ke sekolah yang sama sekali tak punya komputer.

Suatu hal yang tidak masuk akal, mereka yang menciptakan. Tapi mereka mengirim anaknya untuk bersekolah di sekolah yang tidak memiliki fasilitas komputer.

Sekolah yang menggunakan prinsip ini adalah sekolah yang bernama "Waldorf". Sekolah ini sengaja menjauhkan anak-anaknya dari perangkat komputer. mereka lebih memfokuskan pada aktifitas fisik, kreativitas dan kemanmpuan ketrampilan tangan para muridnya.

Mereka biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai pelajaran olahraga.

Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran.

Kedua, Para petinggi di dunia IT ini membela keputusan sekolah Waldorf untuk tak memperkenalkan komputer ke anak-anak mereka

Menurut para pendidik dan orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah dasar yang baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dari komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle (50), yang menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf School of the Peninsula:

“Anak saya baik-baik saja, meskipun tak tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur Eagle, yang bekerja untuk Google.

“Misalkan saja saya seorang sutradara yang baru mengeluarkan sebuah film dewasa. Meski film itu didaulat sebagai film terbaik yang pernah ada di dunia sekalipun, saya toh tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka belum 17 tahun.”

Ketiga, Tanpa perangkat komputer atau kabel, kelas-kelas di Waldorf punya tampilan klasik dengan papan tulis dan kapur warna-warni

Di sekolah Waldorf ini memiliki tampilan gaya ruangan kelas yang klasik. Disana tidak di jumpai banyak perangkat elektronik, layar-layar komputer, atau kabel-kabel yang menghiasi ruangan.

Seorang Guru bernama Cathy Waheed, mengajarkan anak-anak mengenal pecahan dengan metode yang sangat sederhana. Waheed menggunakan buah apel, kue pai, atau roti yang dipotong-potong lalu dibagikan pada murid-muridnya.

“Saya yakin dengan cara ini mereka bisa lebih mudah mengenal hitungan pecahan,” ujar Waheed, yang merupakan lulusan Ilmu Komputer dan sempat bekerja sebagai teknisi

Keempat, Menurut guru-guru Waldorf, mengajarkan siswa memakai komputer tak akan membuat mereka bertambah pintar. Sampai saat ini belum ada penelitian yang bisa menjelaskan kaitan keduanya.

Selain dari pengajar dan orang tua murid, para ahli pendidikan pun menegaskan:

“Penggunaan komputer di ruang kelas sebenarnya tidak ada alasan ilmiahnya. Sampai saat ini toh belum ada penelitian yang membuktikan bahwa keterampilan menggunakan komputer akan berpengaruh pada nilai tes atau prestasi mereka.”

Nah, apakah belajar hitungan pecahan dengan memotong apel atau merajut jauh lebih baik? Bagi Waldorf, pertanyaan ini sulit dibuktikan. Sebagai sekolah swasta, Waldorf tak berpedoman pada tes-tes dasar yang serupa dengan sekolah-sekolah lain. Mereka pun memang mengakui bahwa murid-muridnya tak akan dapat nilai setinggi anak-anak sekolah negeri jika diminta mengerjakan soal-soal tes umum. Bukan karena mereka bodoh, namun karena murid-murid Waldorf memang tak dijejali teori-teori matematika dasar sesuai kurikulum.

Namun, ketika diminta membuktikan efektivitas pendidikan di Waldorf, Association of Waldorf School di Amerika Utara menayangkan hasil penelitian yang tak main-main:

“94% siswa lulusan SMA Waldorf di Amerika Serikat di antara tahun 1994 sampai 2004 berhasil masuk di berbagai jurusan di kampus-kampus bergengsi seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar.”

Selain faktor minimnya teknologi, kualitas pengajar yang baik di Waldorf juga dinilai berpengaruh pada keberhasilan sekolah tersebut mengirim anak-anaknya ke universitas-universitas bergengsi di Amerika.

Kualitas inilah yang kemudian membuat para orangtua percaya pada metode pengajaran Waldorf. Salah satu orangtua tersebut adalah Pierre Laurent (50), pendiri startup yang sebelumnya bekerja di Intel dan Microsoft. Bahkan saking terkesannya dengan metode Waldorf, Monica Laurent, istri Pierre, bergabung menjadi guru di sekolah ini sejak tahun 2006.

Kelima, Waldorf memegang filosofi bahwa belajar-mengajar bukan perkara sederhana. Ini tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia.

Sebenarnya menurut Waldorf, memilih menggunakan teknologi komputer atau tidak bisa jadi sifatnya subyektif  atau perkara pilihan. Terserah saja, menurut kebijakan sekolah masing-masing. Namun yang harus dicatat: ketika anak sudah dibiarkan lekat dengan komputer sejak dini, bisa saja ia akan ketergantungan dan sulit melepaskan gawai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Ann Flynn — petinggi National School Boards Association yang membawahi sekolah-sekolah negeri di Amerika — tetap bersikeras bahwa pelajaran komputer itu penting. Sementara Paul Thomas, mantan guru dan profesor pendidikan yang sudah menulis lebih dari 12 buku tentang metode pendidikan publik, lebih setuju pada Waldorf. Baginya, pendekatan yang minim teknologi di dalam kelas justru sangat bermanfaat.

“Mengajar adalah pengalaman manusia. Teknologi justru bisa jadi gangguan ketika mengenal huruf dan angka, belajar hitungan, dan berpikir kritis, “ ungkap Thomas.

Keenam, Keahlian di bidang IT adalah modal untuk bersaing di dunia kerja. Tapi, haruskah itu menjadi alasan untuk mengenalkan komputer pada anak sejak dini?

“Komputer itu sangat mudah. Kami di Google sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir. Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia mereka sudah dewasa.”
– Alan Eagle.


Singkatnya, Eagle menjelaskan bahwa komputer itu mudah dan bisa dipelajari lewat kursus kilat sekalipun. Jadi buat apa “membunuh” kreativitas alami anak dengan memaksa mereka mempelajari komputer sejak dini?

Bukan berarti anak-anak di Waldorf dan Silicon Valley sama sekali tak melek teknologi. Siswa-siswa kelas V di Waldorf mengaku sering menghabiskan waktu mereka dengan menonton film di rumah. Seorang siswa yang ayahnya bekerja sebagai teknisi di Apple mengaku sering diminta mencoba game baru ciptaan sang ayah. Sementara seorang murid biasa berkutat dengan flight control system di akhir pekan bersama orang tuanya.

Justru anak-anak ini sudah mendapat pengetahuan teknologi dalam porsi yang pas, mengingat kebanyakan orangtua mereka adalah penggiat industri teknologi. Berkat didikan di Waldorf, anak-anak Silicon Valley mengaku tak nyaman saat melihat orang-orang di sekitarnya sibuk dengan gadget mereka.

“Aku lebih suka menulis dengan kertas dan pulpen. Ini membuatku bisa membandingkan tulisanku saat kelas I dengan yang sekarang. Kalau aku menulis di komputer ‘kan… gaya tulisannya sama semua. Dan kalau komputermu tiba-tiba rusak atau mendadak mati listrik, pekerjaanmu jadi tak selesai ‘kan?” ungkap Finn Heilig, yang ayahnya bekerja di Google.

Walau pun belajar sejak dini itu penting. namun, tidak semua yang harus di pelajari dari sejak dini. ada hal yang harus di pelajari pada waktunya dan ada yang harus dari kecil di ajarkan. seperti pengenalan pada teknologi yang bisa membuat kreatifitas seorang anak akan terganggu dengan cepatnya mempelajari teknologi yang seharusnya belum layak untuk di pelajari.

Semoga kita bisa lebih bijak dalam mengambil setiap langkah, agar tidak melenceng dari apa yang diharapkan.

http://www.hipwee.com

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...