Pintar VS Pintar-Pintar
Setiap orangtua
pasti menginginkan punya anak yang pintar makanya setiap orangtua pasti
mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah yang terbaik. ’Sekolah terbaik!,‘ gue juga
bingung sih seperti apa sekolah yang terbaik. Apa mungkin sekolah yang terbaik
itu adalah sekolah yang punya antar jemput dengan mobil mewah, punya ruangan
kelas pakai AC, kursi tempat duduk siswa siswinya empuk seperti kursi direktur,
lantainya pakai karpet, trus di depan kelas ada layar lebar dan kalau belajar
lampunya di matikan, itu sih bukannya sekolah, tapi bioskop. Menurut gue sih
sekolah itu sama saja yang penting itu orangnya apa ada niat untuk belajar atau
hanya ikut-ikutan saja. Percuma juga kalau belajar di sekolah termahal dan
terbaik di dunia kalau niat untuk belajar itu tidak ada.
gue seorang siswa dari salah satu SMA di pekanbaru, gue
itu orangnya biasa saja, tidak pintar dan tidak bodoh-bodoh amat. Gue punya
beberapa teman yang sama dengan gue, maksudnya itu memiliki kemampuan yang
sama, tidak pintar dan juga tidak bodoh. Setiap belajar di kelas gue dan
teman-teman gue jarang serius dalam belajar, kalau pun serius itu karena guru
yang ngajarnya galak dan sangar makanya gue dan teman-teman gue pura-pura
serius. Dalam cerita biasanya ada yang baik dan ada yang jahat, dan begitu juga
dengan kehidupan di kelas gue, ibaratnya gue dan teman-teman gue orang yang
tidak pintar (bahasa halusnya sih) dan teman gue yang namanya Reza orang yang
pintar. Namun, kepintarannya itu membuat dirinya merasa sombong, tidak mau
berbagi dan malas untuk bergaul. Ketika jam istirahat sekolah, biasanya gue dan
teman-teman gue ngumpul-ngumpul di depan kelas, tapi si Reza tidak pernah mau
ngumpul-ngumpul dengan gue dan teman-teman gue, dia lebih suka menghabiskan
waktu dengan teman-teman cewek di kelas atau lebih memilih teman yang berada di
kelas yang lain yang gue rasa mereka juga termasuk orang-orang yang pintar
juga.
Gue ini tipe orang yang tidak suka ngeliat teman menjauh,
jadi terkadang gue panggil tu si Reza ngajak dia agar gabung dengan teman-teman
gue.
“hay za, kesini lah ngumpul-ngumpul” kata gue dan
kebetulan si Reza lewat di depan gue.
“gue mau pergi ke kantin ni” jawab Reza dengan wajah
seakan memang tidak mau bergabung.
“ya udah kalau begitu, jangan lupa belikan gue makanan”
kata gue, ya basa-basi dikit.
Setiap hari gue ngajak teman gue ini untuk ngumpul tapi
jarang mau, kalau pun dia mau ketika ngumpul dia diam saja seakan jadi penonton
di salah satu acara stand up comedy. Walau pun gue tau acara stand up comedy
penontonnya tidak diam saja.
Suatu hari ketika gue mau pergi ke sekolah, gue lihat
cuacanya itu cerah banget, awannya biru, udara yang segar. tapi setelah gue
sampai di sekolah, ketika gue masuk sekolah dan gue lihat teman-teman gue pada
baca buku yang biasanya tidak pernah baca buku membuat gue jadi sedikit heran.
Setelah gue letak tas gue di kursi, trus gue tanya ke teman gue.
“ada angin apa rif, tumben ni kau baca buku?” kata gue
dengan wajah yang ceria.
“tidak ada apa-apa Cuma baca-baca saja” jawab Arif dengan
ketawa jahatnya.
Gue semakin penasaran
dan gue tanya ke teman gue yang lain.
“ada apa ni kok baca buku semua?” tanya gue.
“tadi tiba-tiba guru ekonomi bilang kalau nanti kita
ulangan” jawab Putra.
Dan tentu mendengar
kabar yang luar biasa ini membuat gue terdiam sejenak (‘hari yang cerah awan
yang biru, terasa menjadi mendung dan di penuhi kilatan pentir yang menyambar’
) sedikit lebay tapi begitu lah rasanya ketika tiba-tiba ulangan tanpa ada
persiapan. Akhirnya gue ambil buku, gue baca dan ketika itu juga guru gue
datang dan langsung menyuruh untuk mempersiapkan untuk ulangan. Pagi itu gue
ngerasa seperti ‘tentara yang perang tanpa membawa senjata apapun’ dan mau
tidak mau suka tidak suka akhirnya gue kerjakan ulangan itu. Gue lihat soal
pertama otak langsung buntu, tapi gue lanjutin ke soal ke dua, ketiga, keempat,
dan kelima malah buat gue ngerasa seperti orang yang habis amnesia, seakan
tidak pernah memperlajari pelajaran itu gue benar-benar amnesia ngeliat tu
soal.
Beberapa menit sejak ulangan itu di mulai kertas gue
masih kosong, yang ada Cuma soalnya doang. Tapi gue tidak kehabisan akal, gue
ingat kalau gue nyimpan buku ekonomi di laci, jadi pelan-pelan gue ambil tu
buku di laci, dan gue cari isian dari soal ulangan itu. Untung saja ketika
waktu ulangan selesai kertas gue yang tadinya Cuma soal saja, akhirnya bisa
terisi dengan jawaban yang kira-kira mempunya kebenaran 85%.
Keesokan harinya hasil ulangan di bagikan dan ketika gue
lihat kertas ulangan gue, gue kaget ternyata gue dapat nilai yang bagus(sebenarnya
pura-pura kaget biar tidak ada yang curiga). Ketika gue lihat teman gue si
pintar dia sedikit sedih dan gue tanya.
“berapa nilai mu za ?” kata gue.
“gue sudah nguasai bab ini tapi kenapa gue dapat nilai
yang rendah” jawab Reza dengan muka yang sedih.
“sabar saja, masih ada ulangan yang lain kok” kata gue
dengan menepuk punggungnya.
Pada hal nilainya
tertinggi dikelas tapi dia tetap sedih dengan nilai yang dia miliki sekarang.
Beda halnya dengan teman-teman gue yang sedih melihat gue dapat nilai yang
tinggi. mungkin karena ‘Ketika ngelihat nilai kita rendah kita pasti akan
sedih, tapi lebih sedih lagi kalau teman dekat kita dapat nilai yang lebih
tinggi dari kita,’ mungkin itu yang ada di fikiran teman-teman gue.
Di kelas gue cukup unik hampir rengking di miliki oleh
golongan cewek, sedangkan cowoknya hilang entah kemana. Ada sih satu itu pun si
pintar yang sedikit sombong dan pelit. Teman-teman gue banyak yang kurang suka
dengan pelitnya si pintar. Namun, gue santai-santai saja, walau dia duduk di
samping gue, gue belum pernah minta tunjuk ulangan sama dia karena gue tau dia
tidak akan mau ngasih tau.
Hari demi hari berlalu sama sepeti biasa dan tiba-tiba
ulangan datang lagi di suatu pagi yang cerah. sama seperti biasa gue dan
teman-teman gue tidak punya persiapan dan kali ini gue mencoba untuk menyimpan
buku di laci lagi begitu juga dengan teman-teman gue. Ulangan di mulai dan gue
langsung bersiap buat ngambil buku yang ada di laci meja gue itu. Pelan-pelan
dengan penuh kepercayaan gue ambil tu buku. Namun, karena lagi sialnya guru gue
ngelihat gerak-gerik gue dan gue disuruh ngantar tu buku ke depan kelas, hilang
lah harapan gue untuk dapatin nilai yang bagus, sedangkan teman-teman gue
menertawakan gue.
Waktu terus berlalu, kertas gue baru terisi dengan
nama,kelas, dan juga 5 soal yang sangat mengerikan, sebenarnya sih bukan
soalnya yang mengerikan, tapi guenya saja yang tidak punya persiapan. Tinggal
beberapa menit lagi gue makin gelisah, apa lagi ketika gue ngelihat teman-teman
gue lancar sekali ngelihat buku di laci. Lama kelamaan gelisah gue memberikan
gue ide dan gue coba buat ngelirik teman sebelah gue ya siapa lagi tentu si
pintar Reza. Awalnya gue sedikit was-was bukan karena takut ketahuan guru tapi
takut kalau Reza sadar dan kalau sadar bisa-bisa rencana gue gagal. Ngelirik
memang mudah, yang susahnya mengartikan tulisan orang, kalau tulisannya bagus
sih tidak apa-apa tapi tulisannya itu seperti tulisan di zaman prasejarah, gue
benar-benar harus ekstra teliti buat menterjemah tulisan si Reza, pada saat itu
‘gue ngerasa seperti seorang arkeolog yang sedang mengartikan sebuah tulisan
kuno’. Tapi akhirnya gue siap dan ulangan pun selesai.
Suatu hari di sekolah gue yang tercinta, ketika itu gue
di kelas sama teman-teman gue kebetulan guru yang masuk lagi tidak datang jadi
ya gue dan teman-teman sekelas ya santai-santai. Tetapi santai-santai kami
berubah menjadi sunyi dan sepi setelah pintu kelas gue terbuka seperti ada
orang yang masuk, ketika itu semua yang ada di kelas gue duduk dengan rapi,
semua bertanya-tanya, ‘apakah itu guru pengganti atau guru itu datang?,’ tidak
lama pertanyaan kami semua terjawab,
yang masuk itu ternyata Reza si pintar dan juga ketua di kelas. Dia masuk
kekelas dengan membawa tumpukan kertas. Ketika tumpukan kertas itu di bagikan
ke meja pemilik kertas itu, ternyata itu kertas ulangan kemarin dan gue senang,
kalu gue dapat nilai bagus lagi. ketika itu Reza nanya ke gue.
“dapat berapa ?” tanya Reza.
“dapat satu Cuma kertasnya” jawab gue dengan sedikit
tertawa.
“bukan kertasnya, tapi nilainya berapa ?” tanya Reza
dengan wajah penasaran.
“gue dapat 90,kalau lo gimana za ?” tanya gue.
“sama kita” jawab Reza dengan wajah yang sedikit kurang
senang, namanya juga orang pintar yang pelit yang sukanya menang sendiri.
Di ulangan berikutnya, gue mulai belajar, gue mau
nunjukin ke si pintar kalau gue bisa dapat nilai bagus lebih dari dia, biar dia
sadar dengan kesombongan dia. Malam itu gue belajar dan berharap apa yang gue
baca ini akan keluar di ulangan besok. Tapi kali ini gue tetap pakai ide gue,
yaitu buat yang namanya jimat, ‘bukan jimat dari dukun atau paranormal’ tapi
pembahasan yang di tulis di kertas kecil yang di simpan di tempat yang aman.
Belajar tetap belajar, akal tetap di gunakan.
Keesokan pagi, gue datang agak lambat karena gue sudah
belajar, dan seperti biasa, teman-teman gue pada baru belajar. Ulangan di
mulai, kali ini soalnya lebih banyak ada 10 soal yang cukup buat beberapa
teman-teman gue jadi stres, terlihat dari wajah mereka. Pas gue lihat ke si
pintar kayaknya dia tidak ada masalah dengan soal yang di berikan. Soal pertama
kedua dan ketiga masih bisa gue kerjakan, tapi pas keempat sudah mulai buat
bingung seperti ‘orang yang tersasar tetapi malu bertanya jadi ya pusing
sendiri,’ tapi gue tidak kehabisan akal, gue gunakan teknik pertama gue yaitu
liat buku di laci, awalnya sih mudah. Namun, ternyata gue kenak tegur oleh guru
gue, misi pertama gagal. Ngelihat gue pusing, si Reza langsung nutupin kertas
jawabannya, mungkin karena takut di contek, dan karena kesombongannya dia
sempat bilang ke gue.
“makanya belajar, sorry gue tidak bisa ngasih tau,” kata
si Reza.
Mendengar perkataan si
Reza itu memang membuat gue sedikit emosi, tapi cara terbaik melawan orang yang
sombong adalah dengan cara mengalahkannya di dalam permainannya sendiri. Dan
gue mau menunjukkan kalau gue bisa dan gue mau buat dia sadar dengan
kesombongannya itu. Akhirnya gue gunakan teknik gue yang kedua, yaitu dengan
melihat jimat yang udah gue persiapkan semalam, dan untungnya empat soal
berhasil terisi. Tinggal tiga soal lagi, kali ini gue coba dengan usaha gue
lagi. waktu yang mendesak terkadang mambuat pikiran menjadi tidak konsentrasi
tapi gue coba untuk tidak melihat jam dan tidak melihat orang yang sudah siap.
Gue kerjakan dengan sebisa mungkin dan ketika ulangan dikumpulkan, gue pun juga
mengumpul dengan percaya diri, karena dengan percaya dengan diri sendirilah
kita bisa di percayai orang.
Keesokan harinya entah kenapa gue menanti hasil ulangan
itu, mungkin karena gue mengerjakannya dengan beberapa usaha gue atau karena
perkataan si pintar yang membuat gue menanti hasil ulangan itu. Hari demi hari
gue masih menanti hasil ulangan itu , seperti menanti uang bulanan para anak
kos, seperti itu juga gue dengan hasil ulangan gue. Pada akhirnya penantian gue
telah tiba, ketika gue lihat tu kertas ulangan ternyata gue dapat nilai yang
luar biasa buat gue, dan si pintar dapat nilai yang tidak sebagus yang dia
harapkan. Yang penting bagi gue, si pintar berada di bawah nilai gue.
Setiap yang namannya awal pasti ada akhir, begitu juga
dengan sekolah, di ujian kelulusan gue sudah mulai rajin belajar. Namun, akal
gue tetap gue pakai, seperti buku di laci, kertas kecil berisi pembahasan dan
lainnya. Dan untuk ujian kelulusan semua siswa/siswi di sekolah gue lulus
dengan nilai yang bagus seperti biasa si pintar dapat nilai terbagus dari kami
di kelas dan satu hal, gue dan teman-teman gue lulus di salah satu Universitas
di pekanbaru dengan jalur undangan dari sekolah gue. Jalur undangan itu
membutuhkan yang namanya nilai rapor, gue dan teman-teman gue saja bisa lulus,
apa lagi si pintar yang nilainya bagus-bagus. Tapi sayangnya, perkiraan gue itu
salah, si pintar tidak kuliah karena dia tidak masuk kedalam mahasiswa
undangan. Gue tau kabar itu dari teman gue, dan gue tidak percaya kalau orang
pintar bisa tidak diterima di Universitas di karenakan kalah bersaing dengan
peserta jalur undangan lain, tapi begitu lah kenyataannya.
Selesai
“ beberapa orang merasa
apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang pantas mereka banggakan, pada hal
apa yang mereka miliki itu orang lain juga mempunyainya bahkan lebih dari apa
yang mereka miliki.” @yoki_ym
Penulis : Yoki Merkuri
Twitter : @yoki_ym
Email :
Coretan_ku@yahoo.com
No comments:
Post a Comment