Thursday, 17 July 2014

Pintar VS Pintar-Pintar

Pintar VS Pintar-Pintar

            Setiap orangtua pasti menginginkan punya anak yang pintar makanya setiap orangtua pasti mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah yang terbaik. ’Sekolah terbaik!,‘ gue juga bingung sih seperti apa sekolah yang terbaik. Apa mungkin sekolah yang terbaik itu adalah sekolah yang punya antar jemput dengan mobil mewah, punya ruangan kelas pakai AC, kursi tempat duduk siswa siswinya empuk seperti kursi direktur, lantainya pakai karpet, trus di depan kelas ada layar lebar dan kalau belajar lampunya di matikan, itu sih bukannya sekolah, tapi bioskop. Menurut gue sih sekolah itu sama saja yang penting itu orangnya apa ada niat untuk belajar atau hanya ikut-ikutan saja. Percuma juga kalau belajar di sekolah termahal dan terbaik di dunia kalau niat untuk belajar itu tidak ada.
            gue seorang siswa dari salah satu SMA di pekanbaru, gue itu orangnya biasa saja, tidak pintar dan tidak bodoh-bodoh amat. Gue punya beberapa teman yang sama dengan gue, maksudnya itu memiliki kemampuan yang sama, tidak pintar dan juga tidak bodoh. Setiap belajar di kelas gue dan teman-teman gue jarang serius dalam belajar, kalau pun serius itu karena guru yang ngajarnya galak dan sangar makanya gue dan teman-teman gue pura-pura serius. Dalam cerita biasanya ada yang baik dan ada yang jahat, dan begitu juga dengan kehidupan di kelas gue, ibaratnya gue dan teman-teman gue orang yang tidak pintar (bahasa halusnya sih) dan teman gue yang namanya Reza orang yang pintar. Namun, kepintarannya itu membuat dirinya merasa sombong, tidak mau berbagi dan malas untuk bergaul. Ketika jam istirahat sekolah, biasanya gue dan teman-teman gue ngumpul-ngumpul di depan kelas, tapi si Reza tidak pernah mau ngumpul-ngumpul dengan gue dan teman-teman gue, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-teman cewek di kelas atau lebih memilih teman yang berada di kelas yang lain yang gue rasa mereka juga termasuk orang-orang yang pintar juga.
            Gue ini tipe orang yang tidak suka ngeliat teman menjauh, jadi terkadang gue panggil tu si Reza ngajak dia agar gabung dengan teman-teman gue.
            “hay za, kesini lah ngumpul-ngumpul” kata gue dan kebetulan si Reza lewat di depan gue.
            “gue mau pergi ke kantin ni” jawab Reza dengan wajah seakan memang tidak mau bergabung.
            “ya udah kalau begitu, jangan lupa belikan gue makanan” kata gue, ya basa-basi dikit.
            Setiap hari gue ngajak teman gue ini untuk ngumpul tapi jarang mau, kalau pun dia mau ketika ngumpul dia diam saja seakan jadi penonton di salah satu acara stand up comedy. Walau pun gue tau acara stand up comedy penontonnya tidak diam saja.
            Suatu hari ketika gue mau pergi ke sekolah, gue lihat cuacanya itu cerah banget, awannya biru, udara yang segar. tapi setelah gue sampai di sekolah, ketika gue masuk sekolah dan gue lihat teman-teman gue pada baca buku yang biasanya tidak pernah baca buku membuat gue jadi sedikit heran. Setelah gue letak tas gue di kursi, trus gue tanya ke teman gue.
            “ada angin apa rif, tumben ni kau baca buku?” kata gue dengan wajah yang ceria.
            “tidak ada apa-apa Cuma baca-baca saja” jawab Arif dengan ketawa jahatnya.
Gue semakin penasaran dan gue tanya ke teman gue yang lain.
            “ada apa ni kok baca buku semua?” tanya gue.
            “tadi tiba-tiba guru ekonomi bilang kalau nanti kita ulangan” jawab Putra.
Dan tentu mendengar kabar yang luar biasa ini membuat gue terdiam sejenak (‘hari yang cerah awan yang biru, terasa menjadi mendung dan di penuhi kilatan pentir yang menyambar’ ) sedikit lebay tapi begitu lah rasanya ketika tiba-tiba ulangan tanpa ada persiapan. Akhirnya gue ambil buku, gue baca dan ketika itu juga guru gue datang dan langsung menyuruh untuk mempersiapkan untuk ulangan. Pagi itu gue ngerasa seperti ‘tentara yang perang tanpa membawa senjata apapun’ dan mau tidak mau suka tidak suka akhirnya gue kerjakan ulangan itu. Gue lihat soal pertama otak langsung buntu, tapi gue lanjutin ke soal ke dua, ketiga, keempat, dan kelima malah buat gue ngerasa seperti orang yang habis amnesia, seakan tidak pernah memperlajari pelajaran itu gue benar-benar amnesia ngeliat tu soal.
            Beberapa menit sejak ulangan itu di mulai kertas gue masih kosong, yang ada Cuma soalnya doang. Tapi gue tidak kehabisan akal, gue ingat kalau gue nyimpan buku ekonomi di laci, jadi pelan-pelan gue ambil tu buku di laci, dan gue cari isian dari soal ulangan itu. Untung saja ketika waktu ulangan selesai kertas gue yang tadinya Cuma soal saja, akhirnya bisa terisi dengan jawaban yang kira-kira mempunya kebenaran 85%.
            Keesokan harinya hasil ulangan di bagikan dan ketika gue lihat kertas ulangan gue, gue kaget ternyata gue dapat nilai yang bagus(sebenarnya pura-pura kaget biar tidak ada yang curiga). Ketika gue lihat teman gue si pintar dia sedikit sedih dan gue tanya.
            “berapa nilai mu za ?” kata gue.
            “gue sudah nguasai bab ini tapi kenapa gue dapat nilai yang rendah” jawab Reza dengan muka yang sedih.
            “sabar saja, masih ada ulangan yang lain kok” kata gue dengan menepuk punggungnya.
Pada hal nilainya tertinggi dikelas tapi dia tetap sedih dengan nilai yang dia miliki sekarang. Beda halnya dengan teman-teman gue yang sedih melihat gue dapat nilai yang tinggi. mungkin karena ‘Ketika ngelihat nilai kita rendah kita pasti akan sedih, tapi lebih sedih lagi kalau teman dekat kita dapat nilai yang lebih tinggi dari kita,’ mungkin itu yang ada di fikiran teman-teman gue.
            Di kelas gue cukup unik hampir rengking di miliki oleh golongan cewek, sedangkan cowoknya hilang entah kemana. Ada sih satu itu pun si pintar yang sedikit sombong dan pelit. Teman-teman gue banyak yang kurang suka dengan pelitnya si pintar. Namun, gue santai-santai saja, walau dia duduk di samping gue, gue belum pernah minta tunjuk ulangan sama dia karena gue tau dia tidak akan mau ngasih tau.
            Hari demi hari berlalu sama sepeti biasa dan tiba-tiba ulangan datang lagi di suatu pagi yang cerah. sama seperti biasa gue dan teman-teman gue tidak punya persiapan dan kali ini gue mencoba untuk menyimpan buku di laci lagi begitu juga dengan teman-teman gue. Ulangan di mulai dan gue langsung bersiap buat ngambil buku yang ada di laci meja gue itu. Pelan-pelan dengan penuh kepercayaan gue ambil tu buku. Namun, karena lagi sialnya guru gue ngelihat gerak-gerik gue dan gue disuruh ngantar tu buku ke depan kelas, hilang lah harapan gue untuk dapatin nilai yang bagus, sedangkan teman-teman gue menertawakan gue.
            Waktu terus berlalu, kertas gue baru terisi dengan nama,kelas, dan juga 5 soal yang sangat mengerikan, sebenarnya sih bukan soalnya yang mengerikan, tapi guenya saja yang tidak punya persiapan. Tinggal beberapa menit lagi gue makin gelisah, apa lagi ketika gue ngelihat teman-teman gue lancar sekali ngelihat buku di laci. Lama kelamaan gelisah gue memberikan gue ide dan gue coba buat ngelirik teman sebelah gue ya siapa lagi tentu si pintar Reza. Awalnya gue sedikit was-was bukan karena takut ketahuan guru tapi takut kalau Reza sadar dan kalau sadar bisa-bisa rencana gue gagal. Ngelirik memang mudah, yang susahnya mengartikan tulisan orang, kalau tulisannya bagus sih tidak apa-apa tapi tulisannya itu seperti tulisan di zaman prasejarah, gue benar-benar harus ekstra teliti buat menterjemah tulisan si Reza, pada saat itu ‘gue ngerasa seperti seorang arkeolog yang sedang mengartikan sebuah tulisan kuno’. Tapi akhirnya gue siap dan ulangan pun selesai.
            Suatu hari di sekolah gue yang tercinta, ketika itu gue di kelas sama teman-teman gue kebetulan guru yang masuk lagi tidak datang jadi ya gue dan teman-teman sekelas ya santai-santai. Tetapi santai-santai kami berubah menjadi sunyi dan sepi setelah pintu kelas gue terbuka seperti ada orang yang masuk, ketika itu semua yang ada di kelas gue duduk dengan rapi, semua bertanya-tanya, ‘apakah itu guru pengganti atau guru itu datang?,’ tidak lama  pertanyaan kami semua terjawab, yang masuk itu ternyata Reza si pintar dan juga ketua di kelas. Dia masuk kekelas dengan membawa tumpukan kertas. Ketika tumpukan kertas itu di bagikan ke meja pemilik kertas itu, ternyata itu kertas ulangan kemarin dan gue senang, kalu gue dapat nilai bagus lagi. ketika itu Reza nanya ke gue.
            “dapat berapa ?” tanya Reza.
            “dapat satu Cuma kertasnya” jawab gue dengan sedikit tertawa.
            “bukan kertasnya, tapi nilainya berapa ?” tanya Reza dengan wajah penasaran.
            “gue dapat 90,kalau lo gimana za ?” tanya gue.
            “sama kita” jawab Reza dengan wajah yang sedikit kurang senang, namanya juga orang pintar yang pelit yang sukanya menang sendiri.
            Di ulangan berikutnya, gue mulai belajar, gue mau nunjukin ke si pintar kalau gue bisa dapat nilai bagus lebih dari dia, biar dia sadar dengan kesombongan dia. Malam itu gue belajar dan berharap apa yang gue baca ini akan keluar di ulangan besok. Tapi kali ini gue tetap pakai ide gue, yaitu buat yang namanya jimat, ‘bukan jimat dari dukun atau paranormal’ tapi pembahasan yang di tulis di kertas kecil yang di simpan di tempat yang aman. Belajar tetap belajar, akal tetap di gunakan.
            Keesokan pagi, gue datang agak lambat karena gue sudah belajar, dan seperti biasa, teman-teman gue pada baru belajar. Ulangan di mulai, kali ini soalnya lebih banyak ada 10 soal yang cukup buat beberapa teman-teman gue jadi stres, terlihat dari wajah mereka. Pas gue lihat ke si pintar kayaknya dia tidak ada masalah dengan soal yang di berikan. Soal pertama kedua dan ketiga masih bisa gue kerjakan, tapi pas keempat sudah mulai buat bingung seperti ‘orang yang tersasar tetapi malu bertanya jadi ya pusing sendiri,’ tapi gue tidak kehabisan akal, gue gunakan teknik pertama gue yaitu liat buku di laci, awalnya sih mudah. Namun, ternyata gue kenak tegur oleh guru gue, misi pertama gagal. Ngelihat gue pusing, si Reza langsung nutupin kertas jawabannya, mungkin karena takut di contek, dan karena kesombongannya dia sempat bilang ke gue.
            “makanya belajar, sorry gue tidak bisa ngasih tau,” kata si Reza.
Mendengar perkataan si Reza itu memang membuat gue sedikit emosi, tapi cara terbaik melawan orang yang sombong adalah dengan cara mengalahkannya di dalam permainannya sendiri. Dan gue mau menunjukkan kalau gue bisa dan gue mau buat dia sadar dengan kesombongannya itu. Akhirnya gue gunakan teknik gue yang kedua, yaitu dengan melihat jimat yang udah gue persiapkan semalam, dan untungnya empat soal berhasil terisi. Tinggal tiga soal lagi, kali ini gue coba dengan usaha gue lagi. waktu yang mendesak terkadang mambuat pikiran menjadi tidak konsentrasi tapi gue coba untuk tidak melihat jam dan tidak melihat orang yang sudah siap. Gue kerjakan dengan sebisa mungkin dan ketika ulangan dikumpulkan, gue pun juga mengumpul dengan percaya diri, karena dengan percaya dengan diri sendirilah kita bisa di percayai orang.
            Keesokan harinya entah kenapa gue menanti hasil ulangan itu, mungkin karena gue mengerjakannya dengan beberapa usaha gue atau karena perkataan si pintar yang membuat gue menanti hasil ulangan itu. Hari demi hari gue masih menanti hasil ulangan itu , seperti menanti uang bulanan para anak kos, seperti itu juga gue dengan hasil ulangan gue. Pada akhirnya penantian gue telah tiba, ketika gue lihat tu kertas ulangan ternyata gue dapat nilai yang luar biasa buat gue, dan si pintar dapat nilai yang tidak sebagus yang dia harapkan. Yang penting bagi gue, si pintar berada di bawah nilai gue.
            Setiap yang namannya awal pasti ada akhir, begitu juga dengan sekolah, di ujian kelulusan gue sudah mulai rajin belajar. Namun, akal gue tetap gue pakai, seperti buku di laci, kertas kecil berisi pembahasan dan lainnya. Dan untuk ujian kelulusan semua siswa/siswi di sekolah gue lulus dengan nilai yang bagus seperti biasa si pintar dapat nilai terbagus dari kami di kelas dan satu hal, gue dan teman-teman gue lulus di salah satu Universitas di pekanbaru dengan jalur undangan dari sekolah gue. Jalur undangan itu membutuhkan yang namanya nilai rapor, gue dan teman-teman gue saja bisa lulus, apa lagi si pintar yang nilainya bagus-bagus. Tapi sayangnya, perkiraan gue itu salah, si pintar tidak kuliah karena dia tidak masuk kedalam mahasiswa undangan. Gue tau kabar itu dari teman gue, dan gue tidak percaya kalau orang pintar bisa tidak diterima di Universitas di karenakan kalah bersaing dengan peserta jalur undangan lain, tapi begitu lah kenyataannya.
 Selesai

“ beberapa orang merasa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang pantas mereka banggakan, pada hal apa yang mereka miliki itu orang lain juga mempunyainya bahkan lebih dari apa yang mereka miliki.” @yoki_ym

Penulis : Yoki Merkuri
Twitter : @yoki_ym
Email : Coretan_ku@yahoo.com


No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...