Saturday, 26 September 2015

Diary Bukan Komedi

Malu-Malu Kucing


            Gue lagi duduk di kelas sambil meratiin Putra berantem sama cewek cantik. Putra adalah teman sekelas gue. cewek cantik itu bernama Intan Amelia. Mereka saling mengganggu. Terkadang Intan merampas buku Putra dan sebaliknya. Kayak anak kecil yang kurang bahagia. Pada hal saat itu mereka sudah SMA. Gue juga kepingin berantem sama cewek cantik. Setidaknya saat berantem, gue bisa colek-colek pipi. Karena kalau gak gitu, bisa saja gue di gampar. Tapi kenyataannya, gak ada cewek cantik maupun jelak yang mau berantem dengan gue. kalau ada, itu pun ibuk-ibuk naik motor yang gak sengaja ketebrak sama motor gue.

            Suasana di jam pergantian mata pelajaran selalu  dibarengi dengan keributan. Tiap teman gue ngelakuin hal berbeda-beda. Ada yang dengerin musik, gosip, ngupil, sampai yang paling ekstrem adalah garuk-garuk pantat. Gue sendiri lebih suka diam. Sambil terus melihat kearah Putra dan Intan.  Gak ada hari tanpa mereka berantem. Tapi berantem mereka hari ini terhenti oleh guru yang datang. datangnya guru kedalam kelas merubah semua kekacauan menjadi rapi dan teratur.


            Di saat jam belajar berlangsung. Putra dan Intan sesekali saling bertatapan. Mereka berdua kayak kucing dan anjing. Bahkan takdir memaksa mereka untuk sekelompok dalam mata pelajaran hari ini. gue sendiri juga sekelompok dengan mereka.

            “bangsat! Kenapa gue sekelompok dengan tu cewek gila”kata Putra sambil menatap kearah Intan.
            “Hmmm...”gumam gue santai.

            “kok respon lo gitu amat Ka?”

            “jadi mau lo apa Put. Gue kesal, harus selompok dengan dua orang yang gak pernah berdamai. Entah apa yang bakalan terjadi dengan kelompok ini”kata gue pasrah.

            “jangan salahin gue dong. Salahin tu cewe gila. Gue gak ada ngapa-ngapain dia, terus dia datang narik buku gue, jambak gue....bla bla bla” Putra kembali ngoceh gak terkendali. Sudah hal biasa bagi gue mendengar Putra curhat soal Intan.

Sepulang sekolah. Intan ngajakin gue untuk kerja kelompok. Gue sebagai anggota, hanya nurut kata ketua kelompok. Sedangan Putra, seperti biasa. Diam sambil menatap tajam kearah Intan. Belum sempat buka buku. Putra dan Intan malah berantem.

            “woii, lo kira kita ini mau santai-santai. Mana buku lo cepat buka”teriak Intan ke Putra.

            “sejak kapan lo ngatur-ngatur gue. dasar cewek gila”balas Putra.

            “enak aja lo bilang gue gila. Elo tu yang gila”kata Intan.

            “elo ratu gila. Ratu semua orang gila”kata Putra.

Mereka saling melempar makian. Gue gak bisa berbuat apa-apa. Terakhir, pas gue melerai, kepala gue di lempat buku oleh Intan.  Jadi, gue hanya bisa diam lalu pergi keluar kelas.

            Di luar kelas, gue ketemu dengan Afri. Teman sekelas gue juga. Gue lupa untuk ngasih tahu, kalau gak Cuma Putra dan Intan yang hobi berantem. Tapi Afri juga hobi berantem dengan cewek cantik bernama Rina Alisia. Gak jauh beda dengan Putra. Afri dan Rina juga sering berantem. Gue sendiri gak mengerti jalan pikiran mereka. Gak tahu kenapa barantem menjadi rutinitas di sekolah. Afri yang datang entah dari mana langsung duduk disebelah gue. kini gue dan Afri terlihat romantis. Duduk berdua diantara terpaan angin sepoi-sepoi. Tapi muka Afri terlihat kusut. Gue sendiri sudah tahu kalau dia lagi kesal dengan Rina. Belum sempat gue nanya, Afri ngomong duluan.

            “gue kesal sama Rina. Masa gue di suruh-suruh terus”

            “oh gitu”kata gue santai.

            “cuek amat sih lo. gue lagi kesal ni, kasih saran gitu”

            “gue gak tau mau ngasih saran apaan. Kalian berdua itu udah kayak Tom And Jerry. Gak bakalan bisa dipisain”

            “terus lo ngapain diluar ?”tanya Afri.

            “teman lo Putra berantem dengan Intan di dalam kelas. Stres gue ngeliatnya”kata gue kesal.

            “Anjrit!, lo biarin mereka berduaan. Entar kalau terjadi apa-apa gimana”

            “yaelah, gak bakalan terjadi apa-apa. Mereka itu utara dan selatan. Gak bakal bisa nyatuh”

            “iya sih. semoga aja deh Ka”

Hari ini kerja kelompok gagal total. Gak ada pembahasan yang bermakna selain ngeliat Putra dan Intan berantem. Di rumah, gue juga mengalami masalah yang sama. Berantem dengan kedua adek gue yang keras kepala. Terkadang masalah gue berantem hanya karena remote televisi. Adek gue mau nonton sinetron, gue mau nonton kartun. Walau sebenarnya umur gue sudah gak anak kecil. Tapi lebih baik nonton film kartun dari pada harus nonton film cinta-cinta yang penuh dengan fatamorgana.

            Beberapa hari berlalu, beberapa kali juga gue, Intan, dan Putra kerja kelompok. Namun, tugas kelompok belum juga selesai. Pada hal, hari ini adalah hari presentasi. Gue kini pasrah. Berdiri didepan kelas. Menghadap kesemua teman-teman gue di kelas. Muka gue pucat, tangan gue dingin. Tapi ekspresi dari kedua rekan sekelompok gue tidak memperlihatkan rasa cemas. Malah Intan dan Putra terlihat cengengesan gak jelas. “bangsat! Udah segenting ini masih juga bisa cengengesan”kata gue dalam hati. kini gue membuka presenstasi

            “Assalammualaikum, selamat pagi teman-teman semua. Kami dari  kelompok satu akan mempresentasikan hasil diskusi kami yang akan di jelaskan oleh...” gue langsung melihat ke arah Intan dan Putra.

            “lo aja” bisik Putra ke Intan

            “enggak. Lo aja” kata Intan ke Putra.

Mereka malah berdebat di saat gue setengah mati berdiri di depan kelas. Kini gue benar-benar stres. Gue terpaksa memakai nama Putra sebagai tumbal “kepada Putra kami persilakan”. Muka Putra terlihat pucat. Gue yang melihat Putra Pucat juga ikut semakin pucat. “MAMPUSLAH!”kata gue sambil menepuk kening.

            “judul presentasi kami adalah pertumbuhan jamur. Jamur itu sendiri adalah sejenis tumbuhan yang....bla bla bla” Putra dengan lancarnya membahas semua tentang jamur.

Gue yang tadinya stres. Kini mulai merasa tenang. Tapi gue sendiri heran. Putra yang kerjaannya berantem dengan Intan. Bisa dengan mudah menjelaskan. Pada hal, hasil presentasi kelompok gue gak siap sama sekali. Cukup lama Putra menjelaskan. Sampai pada waktunya pertanyaan. Bertubi-tubi kelompok gue diserang dengan berbagai pertanyaan. Mereka tahu kalau kelompok gue gak siap dalam presentasi. Namun, hebatnya lagi, Intan dengan santai menjawab semua pertanyaan. Kini penyesalan gue sekelompok dengan mereka berubah menjadi rasa syukur. Berbeda dengan gue yang terbebas dari hukuman. Kelompok Afri dan Rina malah gagal total. Mereka dihukum dengan tambahan materi baru.

            Waktu berlalu begitu saja. Di kelas tiga SMA. Gue, Putra ,dan Afri gagal masuk IPA karena nilai yang gak cukup. Belum lagi kemempuan otak kami bertiga di bawah manusia normal. Gue gak masalah gagal masuk IPA. Karena gue masih bisa belajar walau di jurusan IPS. Namun, beda halnya dengan Putra dan Afri. Untuk minggu pertama. Putra terlihat galau. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kelas. Menung gak jelas kayak cewek yang lagi PMS. Semangat hidup Putra pun mulai pudar. Gue sendiri gak tahu penyebab Putra berubah. tapi tidak berlangsung lama. 3bulan kemudian. Dia kembali jadi diri sendiri. Afri juga berubah. ia lebih banyak senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin hape. awalnya gue kira, Afri kenak gangguan jiwa. Namun, ternyata, ia sedang SMSan dengan Rina.

            Semenjak berbeda jurusan dan kelas. mereka gak pernah lagi terlihat berantem. Bagaiman bisa beratem, sedangkan untuk ketemu saja. harus nunggu jam istirahat. itu pun kalau ketemu. Suasana siang itu begitu panas. Putra dan Afri sibuk ngajakin gue nongkrong di cafe jus yang gak jauh dari sekolah. cafe itu selalu dipenuhi oleh siswa-siswi populer dan anak ber-uang. Sedangkan gue, Putra, dan Afri termasuk siswa ekonomis. Hobi dengan gratisan.

            “gue gak ada uang buat beli jus”teriak gue.

            “yaelah, entar Afri yang bayar”kata Putra narik tangan gue.

            “ha!, kenapa gue yang jadi korban”kata Afri.

            “ayuklah, gue kehausan ni. Lo tau sendiri, kalau gue haus gimana”kata Putra terus menarik gue kayak sapi yang mau di potong. Lalu gue keingat. Dengan kejadian Putra yang pernah ngences gak terkendali hanya karena kehausan saat jogging. Takut muka gue kesiram dengan encesnya Putra. mau gak mau gue nurut.

            “yaudah, ayuklah...”

Ternyata dugaan gue benar. Di cafe itu penuh dengan siswa-siswi populer dan anak ber-uang. Agar bisa berbaur. Gue, Putra, dan Afri lalu ngeluarin baju dan berlagak kayak preman yang gagal ujian.

            “HAY BRO!”sapa Putra ke arah grombolan siswa-siswa pupuler.

            “Hay...”kata gue

            “hayy..”Afri ngikut.

Karena gak ada meja yang kosong. Mau gak mau, gue, Putra dan Afri minum jus di samping cafe, duduk di tumpukan batu bata kayak gelandangan.

            “udah gue bilang jangan kesini. Kalian sibuk ngajakin kesini. Liat ni, kita gak ada dapat tempat duduk. Terus menggembel kayak gini”kata gue kesal.

            “gak apa-apa gembel, yang penting dahaga gue terobati”jawab Putra sambil menyedot habis jus jeruk yang ia beli.

Dalam suasana yang sedikit gelandangan. Gue melihat Afri cengengesan sambil megang hape. saat itu juga gue langsung nanyain soal hubungan dengan dengan Rina

            “jadi lo udah jadian sama Rina?”

            “APA....??!!”teriak Putra kaget sambil ngeluarin jus dari hidung. “ia bener tu, lo udah jadian ya...”
            “gak dow. Gue gak suka sama dia. cewek aneh kayak gitu bukan tipe gue”jawab Afri.

            “alah jujur aja napa”sambung Putra.

            “diam lo Putra. lo sama aja. Baru jadian sama Intan kan?”tanya gue sambil menatap tajam kearah muka Putra.

            “is.., muke lo biasa aja ka ”kata Putra, mendorong muka gue.

            “gue yakin kalian suka dengan Intan dan Rina. Cuma malu mengakuinya “kata gue dengan muka serius.

            “ENGGAK!”jawab Putra hampir berbarengan dengan Afri.

            “wah! Sehati ni nampaknya. Atau kalian berdua yang jadian”

            “idih.. lo kira gue anak gadis apaan mau jadian sama cowok kayak Afri”

Penyakit lama Putra malah kumat. Hari berikutnya. Gue masih nanyain hal yang sama. Namun, mereka berdua tetap saja menepis pertanyaan gue itu. Tapi gue yakin kalau bibit cinta sudah tertanam di hati mereka. Dari tingkah yang gak waras, kayak senyum sendiri, menung gak karuan. Sampai pura-pura beli minum hanya untuk ngeliat seseorang yang penting di hidup mereka yang lagi makan. Cinta terkadang membuat orang normal menjadi gila. tapi orang gila belum tentu sedang jatuh cinta.

            Gue lagi duduk di teras rumah. rasa lelah sepulang kuliah masih terasa. Kisah Putra dan Afri sudah sampai pada ujungnya. Apa yang gue pikirkan sejak awal. Ternyata benar terjadi. Bibit cinta yang mereka tanam. Kini sudah tumbuh. Putra akhirya jadian sama Intan setelah tamat SMA. Begitu juga dengan Afri yang jadian sama Rina setelah kuliah. Gue nulis cerita ini ditemani oleh seekor kucing tetangga. Kucing kampung berwarna kuning dengan belang putih ini terlihat fokus menatap gue. beberapa kali juga si kucing mendengkur di bawah kaki gue. kasihan, gue ngasih cemilan yang gue makan. Namun, si kucing hanya mengendus lalu kembali menatap kearah gue. masih merasa kasihan. Gue kasih lagi satu cemilan yang gue punya. Namun, si kucing tetap saja tidak memakannya. Akhirnya gue fokus untuk kembali menulis cerita ini. sambil menulis cerita, gue mencoba melirik kearah si kucing. Ternyata ia sedang lahap memakan cemilan yang gue kasih. sadar gue sedang memperhatikannya. Ia diam kalem seperti sebelumnya. Namun, kembali makan dengan lahap saat gue abaikan.

            Sama seperti kucing kampung ini. Putra dan Afri dulunya menolak kenyataan cinta. tapi akhirnya, mereka memakan kata-katanya sendiri. Putra jadian dengan Intan. Afri jadian dengan Rina. Gue gak tahu cara mereka mengutakaran isi hatinya. Karena, untuk tahu mereka sudah jadian saja. gue butuh usaha keras mencari informasi itu. menyewa mata-mata, pasukan khusus, bahkan pembunuh bayaran. Setelah kejadian ini. gue percaya kalau malu-malu kucing tidak hanya sekedar pribahasa.

            

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...