Malu-Malu Kucing
Gue lagi duduk di kelas sambil meratiin
Putra berantem sama cewek cantik. Putra adalah teman sekelas gue. cewek cantik
itu bernama Intan Amelia. Mereka saling mengganggu. Terkadang Intan merampas buku
Putra dan sebaliknya. Kayak anak kecil yang kurang bahagia. Pada hal saat itu
mereka sudah SMA. Gue juga kepingin berantem sama cewek cantik. Setidaknya saat
berantem, gue bisa colek-colek pipi. Karena kalau gak gitu, bisa saja gue di
gampar. Tapi kenyataannya, gak ada cewek cantik maupun jelak yang mau berantem
dengan gue. kalau ada, itu pun ibuk-ibuk naik motor yang gak sengaja ketebrak
sama motor gue.
Suasana di jam pergantian mata
pelajaran selalu dibarengi dengan
keributan. Tiap teman gue ngelakuin hal berbeda-beda. Ada yang dengerin musik,
gosip, ngupil, sampai yang paling ekstrem adalah garuk-garuk pantat. Gue
sendiri lebih suka diam. Sambil terus melihat kearah Putra dan Intan. Gak ada hari tanpa mereka berantem. Tapi berantem
mereka hari ini terhenti oleh guru yang datang. datangnya guru kedalam kelas
merubah semua kekacauan menjadi rapi dan teratur.
Di saat jam belajar berlangsung.
Putra dan Intan sesekali saling bertatapan. Mereka berdua kayak kucing dan
anjing. Bahkan takdir memaksa mereka untuk sekelompok dalam mata pelajaran hari
ini. gue sendiri juga sekelompok dengan mereka.
“bangsat! Kenapa gue sekelompok
dengan tu cewek gila”kata Putra sambil menatap kearah Intan.
“Hmmm...”gumam gue santai.
“kok respon lo gitu amat Ka?”
“jadi mau lo apa Put. Gue kesal,
harus selompok dengan dua orang yang gak pernah berdamai. Entah apa yang
bakalan terjadi dengan kelompok ini”kata gue pasrah.
“jangan salahin gue dong. Salahin tu
cewe gila. Gue gak ada ngapa-ngapain dia, terus dia datang narik buku gue,
jambak gue....bla bla bla” Putra kembali ngoceh gak terkendali. Sudah hal biasa
bagi gue mendengar Putra curhat soal Intan.
Sepulang
sekolah. Intan ngajakin gue untuk kerja kelompok. Gue sebagai anggota, hanya
nurut kata ketua kelompok. Sedangan Putra, seperti biasa. Diam sambil menatap
tajam kearah Intan. Belum sempat buka buku. Putra dan Intan malah berantem.
“woii, lo kira kita ini mau
santai-santai. Mana buku lo cepat buka”teriak Intan ke Putra.
“sejak kapan lo ngatur-ngatur gue.
dasar cewek gila”balas Putra.
“enak aja lo bilang gue gila. Elo tu
yang gila”kata Intan.
“elo ratu gila. Ratu semua orang
gila”kata Putra.
Mereka
saling melempar makian. Gue gak bisa berbuat apa-apa. Terakhir, pas gue
melerai, kepala gue di lempat buku oleh Intan.
Jadi, gue hanya bisa diam lalu pergi keluar kelas.
Di luar kelas, gue ketemu dengan
Afri. Teman sekelas gue juga. Gue lupa untuk ngasih tahu, kalau gak Cuma Putra
dan Intan yang hobi berantem. Tapi Afri juga hobi berantem dengan cewek cantik
bernama Rina Alisia. Gak jauh beda dengan Putra. Afri dan Rina juga sering
berantem. Gue sendiri gak mengerti jalan pikiran mereka. Gak tahu kenapa
barantem menjadi rutinitas di sekolah. Afri yang datang entah dari mana
langsung duduk disebelah gue. kini gue dan Afri terlihat romantis. Duduk berdua
diantara terpaan angin sepoi-sepoi. Tapi muka Afri terlihat kusut. Gue sendiri
sudah tahu kalau dia lagi kesal dengan Rina. Belum sempat gue nanya, Afri
ngomong duluan.
“gue kesal sama Rina. Masa gue di
suruh-suruh terus”
“oh gitu”kata gue santai.
“cuek amat sih lo. gue lagi kesal
ni, kasih saran gitu”
“gue gak tau mau ngasih saran apaan.
Kalian berdua itu udah kayak Tom And Jerry. Gak bakalan bisa dipisain”
“terus lo ngapain diluar ?”tanya
Afri.
“teman lo Putra berantem dengan
Intan di dalam kelas. Stres gue ngeliatnya”kata gue kesal.
“Anjrit!, lo biarin mereka berduaan.
Entar kalau terjadi apa-apa gimana”
“yaelah, gak bakalan terjadi
apa-apa. Mereka itu utara dan selatan. Gak bakal bisa nyatuh”
“iya sih. semoga aja deh Ka”
Hari
ini kerja kelompok gagal total. Gak ada pembahasan yang bermakna selain ngeliat
Putra dan Intan berantem. Di rumah, gue juga mengalami masalah yang sama. Berantem
dengan kedua adek gue yang keras kepala. Terkadang masalah gue berantem hanya
karena remote televisi. Adek gue mau nonton sinetron, gue mau nonton kartun.
Walau sebenarnya umur gue sudah gak anak kecil. Tapi lebih baik nonton film
kartun dari pada harus nonton film cinta-cinta yang penuh dengan fatamorgana.
Beberapa hari berlalu, beberapa kali
juga gue, Intan, dan Putra kerja kelompok. Namun, tugas kelompok belum juga selesai.
Pada hal, hari ini adalah hari presentasi. Gue kini pasrah. Berdiri didepan
kelas. Menghadap kesemua teman-teman gue di kelas. Muka gue pucat, tangan gue
dingin. Tapi ekspresi dari kedua rekan sekelompok gue tidak memperlihatkan rasa
cemas. Malah Intan dan Putra terlihat cengengesan gak jelas. “bangsat! Udah
segenting ini masih juga bisa cengengesan”kata gue dalam hati. kini gue membuka
presenstasi
“Assalammualaikum, selamat pagi
teman-teman semua. Kami dari kelompok
satu akan mempresentasikan hasil diskusi kami yang akan di jelaskan oleh...”
gue langsung melihat ke arah Intan dan Putra.
“lo aja” bisik Putra ke Intan
“enggak. Lo aja” kata Intan ke
Putra.
Mereka
malah berdebat di saat gue setengah mati berdiri di depan kelas. Kini gue
benar-benar stres. Gue terpaksa memakai nama Putra sebagai tumbal “kepada Putra
kami persilakan”. Muka Putra terlihat pucat. Gue yang melihat Putra Pucat juga
ikut semakin pucat. “MAMPUSLAH!”kata gue sambil menepuk kening.
“judul presentasi kami adalah
pertumbuhan jamur. Jamur itu sendiri adalah sejenis tumbuhan yang....bla bla
bla” Putra dengan lancarnya membahas semua tentang jamur.
Gue
yang tadinya stres. Kini mulai merasa tenang. Tapi gue sendiri heran. Putra
yang kerjaannya berantem dengan Intan. Bisa dengan mudah menjelaskan. Pada hal,
hasil presentasi kelompok gue gak siap sama sekali. Cukup lama Putra
menjelaskan. Sampai pada waktunya pertanyaan. Bertubi-tubi kelompok gue
diserang dengan berbagai pertanyaan. Mereka tahu kalau kelompok gue gak siap
dalam presentasi. Namun, hebatnya lagi, Intan dengan santai menjawab semua
pertanyaan. Kini penyesalan gue sekelompok dengan mereka berubah menjadi rasa
syukur. Berbeda dengan gue yang terbebas dari hukuman. Kelompok Afri dan Rina
malah gagal total. Mereka dihukum dengan tambahan materi baru.
Waktu berlalu begitu saja. Di kelas
tiga SMA. Gue, Putra ,dan Afri gagal masuk IPA karena nilai yang gak cukup.
Belum lagi kemempuan otak kami bertiga di bawah manusia normal. Gue gak masalah
gagal masuk IPA. Karena gue masih bisa belajar walau di jurusan IPS. Namun,
beda halnya dengan Putra dan Afri. Untuk minggu pertama. Putra terlihat galau.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kelas. Menung gak jelas kayak cewek yang
lagi PMS. Semangat hidup Putra pun mulai pudar. Gue sendiri gak tahu penyebab
Putra berubah. tapi tidak berlangsung lama. 3bulan kemudian. Dia kembali jadi
diri sendiri. Afri juga berubah. ia lebih banyak senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin
hape. awalnya gue kira, Afri kenak gangguan jiwa. Namun, ternyata, ia sedang
SMSan dengan Rina.
Semenjak berbeda jurusan dan kelas.
mereka gak pernah lagi terlihat berantem. Bagaiman bisa beratem, sedangkan
untuk ketemu saja. harus nunggu jam istirahat. itu pun kalau ketemu. Suasana
siang itu begitu panas. Putra dan Afri sibuk ngajakin gue nongkrong di cafe jus
yang gak jauh dari sekolah. cafe itu selalu dipenuhi oleh siswa-siswi populer
dan anak ber-uang. Sedangkan gue, Putra, dan Afri termasuk siswa ekonomis. Hobi
dengan gratisan.
“gue gak ada uang buat beli
jus”teriak gue.
“yaelah, entar Afri yang bayar”kata
Putra narik tangan gue.
“ha!, kenapa gue yang jadi
korban”kata Afri.
“ayuklah, gue kehausan ni. Lo tau
sendiri, kalau gue haus gimana”kata Putra terus menarik gue kayak sapi yang mau
di potong. Lalu gue keingat. Dengan kejadian Putra yang pernah ngences gak
terkendali hanya karena kehausan saat jogging. Takut muka gue kesiram dengan
encesnya Putra. mau gak mau gue nurut.
“yaudah, ayuklah...”
Ternyata
dugaan gue benar. Di cafe itu penuh dengan siswa-siswi populer dan anak ber-uang.
Agar bisa berbaur. Gue, Putra, dan Afri lalu ngeluarin baju dan berlagak kayak
preman yang gagal ujian.
“HAY BRO!”sapa Putra ke arah
grombolan siswa-siswa pupuler.
“Hay...”kata gue
“hayy..”Afri ngikut.
Karena
gak ada meja yang kosong. Mau gak mau, gue, Putra dan Afri minum jus di samping
cafe, duduk di tumpukan batu bata kayak gelandangan.
“udah gue bilang jangan kesini.
Kalian sibuk ngajakin kesini. Liat ni, kita gak ada dapat tempat duduk. Terus
menggembel kayak gini”kata gue kesal.
“gak apa-apa gembel, yang penting
dahaga gue terobati”jawab Putra sambil menyedot habis jus jeruk yang ia beli.
Dalam
suasana yang sedikit gelandangan. Gue melihat Afri cengengesan sambil megang
hape. saat itu juga gue langsung nanyain soal hubungan dengan dengan Rina
“jadi lo udah jadian sama Rina?”
“APA....??!!”teriak Putra kaget
sambil ngeluarin jus dari hidung. “ia bener tu, lo udah jadian ya...”
“gak dow. Gue gak suka sama dia.
cewek aneh kayak gitu bukan tipe gue”jawab Afri.
“alah jujur aja napa”sambung Putra.
“diam lo Putra. lo sama aja. Baru
jadian sama Intan kan?”tanya gue sambil menatap tajam kearah muka Putra.
“is.., muke lo biasa aja ka ”kata
Putra, mendorong muka gue.
“gue yakin kalian suka dengan Intan
dan Rina. Cuma malu mengakuinya “kata gue dengan muka serius.
“ENGGAK!”jawab Putra hampir
berbarengan dengan Afri.
“wah! Sehati ni nampaknya. Atau
kalian berdua yang jadian”
“idih.. lo kira gue anak gadis apaan mau jadian sama cowok kayak Afri”
Penyakit
lama Putra malah kumat. Hari berikutnya. Gue masih nanyain hal yang sama.
Namun, mereka berdua tetap saja menepis pertanyaan gue itu. Tapi gue yakin
kalau bibit cinta sudah tertanam di hati mereka. Dari tingkah yang gak waras,
kayak senyum sendiri, menung gak karuan. Sampai pura-pura beli minum hanya
untuk ngeliat seseorang yang penting di hidup mereka yang lagi makan. Cinta
terkadang membuat orang normal menjadi gila. tapi orang gila belum tentu sedang
jatuh cinta.
Gue lagi duduk di teras rumah. rasa
lelah sepulang kuliah masih terasa. Kisah Putra dan Afri sudah sampai pada
ujungnya. Apa yang gue pikirkan sejak awal. Ternyata benar terjadi. Bibit cinta
yang mereka tanam. Kini sudah tumbuh. Putra akhirya jadian sama Intan setelah
tamat SMA. Begitu juga dengan Afri yang jadian sama Rina setelah kuliah. Gue nulis
cerita ini ditemani oleh seekor kucing tetangga. Kucing kampung berwarna kuning
dengan belang putih ini terlihat fokus menatap gue. beberapa kali juga si
kucing mendengkur di bawah kaki gue. kasihan, gue ngasih cemilan yang gue
makan. Namun, si kucing hanya mengendus lalu kembali menatap kearah gue. masih
merasa kasihan. Gue kasih lagi satu cemilan yang gue punya. Namun, si kucing
tetap saja tidak memakannya. Akhirnya gue fokus untuk kembali menulis cerita
ini. sambil menulis cerita, gue mencoba melirik kearah si kucing. Ternyata ia
sedang lahap memakan cemilan yang gue kasih. sadar gue sedang memperhatikannya.
Ia diam kalem seperti sebelumnya. Namun, kembali makan dengan lahap saat gue
abaikan.
Sama seperti kucing kampung ini.
Putra dan Afri dulunya menolak kenyataan cinta. tapi akhirnya, mereka memakan
kata-katanya sendiri. Putra jadian dengan Intan. Afri jadian dengan Rina. Gue gak
tahu cara mereka mengutakaran isi hatinya. Karena, untuk tahu mereka sudah
jadian saja. gue butuh usaha keras mencari informasi itu. menyewa mata-mata,
pasukan khusus, bahkan pembunuh bayaran. Setelah kejadian ini. gue percaya
kalau malu-malu kucing tidak hanya sekedar pribahasa.
No comments:
Post a Comment